Kamis, 13 Oktober 2011

Masalah Sampah Di Indonesia dan Solusinya


            Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah meningkatkan taraf kehidupan penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan pertumbuhan kegiatan produksi dan konsumsi. Pertumbuhan ini juga membawa pada penggunaan sumber semula jadi yang lebih besar dan pengeksploitasian lingkungan untuk keperluan  industri, bisnis dan aktivitas  sosial. Di bandar-bandar negara dunia ketiga, pengurusan sampah sering mengalami masalah. Pembuangan sampah yang tidak diurus  dengan baik, akan mengakibatkan masalah besar. Karena penumpukan sampah atau membuangnya sembarangan ke kawasan terbuka akan mengakibatkan pencemaran tanah yang juga akan berdampak ke saluran air tanah. Demikian juga pembakaran sampah akan mengakibatkan pencemaran udara, pembuangan sampah ke sungai akan mengakibatkan pencemaran air, tersumbatnya saluran air dan banjir (Sicular 1989). Selain itu, Eksploitasi lingkungan adalah menjadi isu yang berkaitan dengan pengurusan terutama sekitar kota. Masalah sampah sudah saatnya dilihat dari konteks nasional. Kesukaran untuk mencari lokasi landfill sampah, perhatian terhadap lingkungan, dan kesehatan telah menjadi isu utama pengurusan negara dan sudah saatnya dilakukan pengurangan jumlah sampah, air sisa, serta peningkatan kegiatan dalam menangani sampah..
            Oleh sebab itu, banyak negara besar melakukan incineration atau pembakaran, yang menjadi alternatif dalam pembuangan sampah. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi untuk proses ini adalah biaya pembakaran lebih mahal dibandingkan dengan sistem pembuangan akhir (sanitary landfill). Apabila sampah ini digunakan untuk pertanian dalam jumlah yang besar, maka akan menimbulkan masalah karena mengandung logam berat (Ross 1994). Sampah boleh dikategorikan kepada dua, yaitu sampah domestik dan sampah bukan domestik (Ridwan Lubis 1994). Sampah domestik adalah bahan-bahan buangan yang dibuang dari rumah atau dapur. Contohnya ialah pakaian lama atau buruk, botol, kaca, kertas, beg plastik, tin aluminium dan juga sisa makanan. Sampah bukan domestik pula ialah bahan-bahan buangan yang dihasilkan dari industri, perusahaan, pasar, dan pejabat. Bahan-bahan buangan ini terdiri daripada berbagai jenis termasuk sisa jualan, sisa pembungkusan dan sisa daripada proses pengilangan. 
Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Sampah berasal dari rumah tangga, pertanian, perkantoran, perusahaan, rumah sakit, pasar, dsb. Secara garis besar, sampah dibedakan menjadi:
1.       Sampah organik/basah
Contoh : Sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah dll yang dapat mengalami pembusukan secara alami.
2.       Sampah anorganik/kering
Contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, dll yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami.
3.       Sampah berbahaya
Contoh : Baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas dll.
Permasalahan sampah di Indonesia antara lain semakin banyaknya limbah sampah yang dihasilkan masyarakat, kurangnya tempat sebagai pembuangan sampah, sampah sebagai tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus, menjadi sumber polusi dan pencemaran tanah, air, dan udara, menjadi sumber dan tempat hidup kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat  atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimalisasi sampah harus dijadikan prioritas utama. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutrisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tanggung Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggung jawab Produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendesain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah. 
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3) 
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.  Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa seperti merkuri harus dihilangkan, dengan cara merubah pembelian bahan-bahan, bahan lainnya dapat didaur-ulang, selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika. Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Produksi Bersih dan Prinsip 4R
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu
  • Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
  • Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
  •  Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain. 
  • Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong kresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didegradasi secara alami.
Sumber: http://gbioscience05.wordpress.com

Masalah Banjir yang Selalu Berulang


Persoalan banjir sesungguhnya persoalan yang kita hadapi setiap tahun. Selalu berulang dan berulang. Cuma kadarnya yang naik turun. Banjir besar atau banjir kecil. Berita terakhir banjir bandang di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, yang korbannya mencapai lebih dari 100 orang.

Pertanyaannya adakah kita mampu menghilangkan bencana banjir? Mungkin percuma saja. Jadi kalau ada pejabat yang berujar sebagai ahlinya banjir, tidak salah juga. Kalimat itu bisa diartikan macam-macam. Misalnya ahli pembuat banjir atau ahli penyebab banjir. Bisa juga ahli mendramatisasi banjir. Atau ahli menghadapi banjir, bagaimanapun risikonya. Kita saja yang salah mengartikannya, seolah kalimat 'serahkan ahlinya' itu diartikan sebagai ahli untuk menghilangkan atau menghentikan banjir. Padahal bukan itu maksudnya. Lagi pula, bila keadaannya sudah seperti sekarang ini, manalah mungkin banjir dapat dihilangkan? Paling-paling kadarnya diturunkan.

Namanya saja alam, setiap tahun menurunkan hujan. Bahkan kita hanya mengenal dua musim, yakni musim kering atau kemarau dan musim hujan. Masyarakat kita sudah bertumbuh apa adanya tanpa ada perencanaan serta tuntunan untuk dapat hidup teratur serta jauh dari musibah banjir. Lagi pula sejarah bertumbuhnya kota-kota di negeri ini lahir dari tepian sungai atau pantai. Wajarlah bila pertumbuhan penduduk menyebabkan pembangunan di tepian itu tak terkendali.

Tuntutan perumahan dan permukiman juga tidak mempertimbangkan faktor semacam itu. Lihat di pembangunan perumahan, masih tetap bersifat 'lapar tanah'. Artinya pembangunan perumahan yang mengandalkan luas lahan, belum menuju ke atas alias pembangunan apartemen. Bahkan sebaliknya, apartemen dibangun untuk kebutuhan 'orang-orang kaya'. Padahal di banyak negara, perumahan rakyat justru dicukupi dalam bentuk rumah susun alias apartemen. Kalaupun ada kondominium alias apartemen untuk orang-orang kaya, jumlahnya lebih sedikit.

Akibatnya di mana ruang kosong, akan diisi dengan perumahan. Termasuk areal yang sesungguhnya untuk jalur hijau atau rawa-rawa dan daerah aliran sungai. Tak mengherankan bila daerah Bandung Selatan tergenang terus. Di berbagai negara daerah semacam itu tidak boleh dibangun dan bahkan dibiarkan apa adanya. Lihatlah daerah yang masuk areal banjir, pada umumnya adalah daerah seperti ini. Dalam buku saya, Orang Batak Naik Haji, saya menulis ke mana perginya air itu kalau bukan untuk membanjiri permukiman?

Pemerintah
Dari audit BPK atas banjir di daerah Jember beberapa tahun lalu, dapat ditelusuri bahwa sesungguhnya banjir ini disebabkan ulah kita juga. Jika permukiman liar di bantaran sungai atau ulah lain yang mendukung terjadinya banjir seperti membuang sampah sembarangan dipicu masyarakat, tiadanya pengaturan atau pemberian izin perumahan atau areal usaha didaerah yang tidak semestinya tentulah ulah pemerintah. Demikian halnya hasil audit tersebut, peraturan perundang-undangan yang menjaga lingkungan hidup pada umumnya tidak berjalan sebagaimana yang diatur itu. Pegunungan dengan kemiringan tanah 40 derajat yang semestinya diisi tumbuhan besar dengan akar kuat justru dibabat untuk diisi dengan tanaman kopi yang rentan terhadap longsor. Demikian juga bantaran sungai di lereng pegunungan itu telah diubah peruntukannya. Penggantian tanaman dan perubahan bantaran sungai itu dilakukan perusahaan daerah perkebunan kopi, yang justru dibentuk pemerintah daerah. Perusahaan daerah itu memang mampu memberi penerimaan Rp2 miliar setahun atau Rp10 miliar selama lima tahun bagi pendapatan asli daerah. Akan tetapi, begitu terjadi longsor dan banjir bandang datang, kerugian materi yang diakibatkannya saja tidak kurang dari Rp100 miliar. Belum lagi korban jiwa. Jika angka-angka yang digambarkan itu menunjukkan eksternalitas mereka, dari sudut audit kinerja yang dilakukan terhadap pemerintah dalam hal lingkungan hidup menunjukkan pemerintahan, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten, tidak melaksanakan fungsi yang sesungguhnya.

Artinya, dalam banyak hal pemerintahan pada dasarnya juga tidak berjalan dalam upaya pencegahan banjir. Pemerintah dan berbagai organisasi justru baru menunjukkan perannya ketika banjir sedang berlangsung. Bahkan sering kali dapat ditegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat bersama-sama beraktivitas yang mempermudah atau memberi peluang bagi terjadinya musibah dalam bentuk longsor dan banjir.

Terkadang ada juga kemajuan pemerintah dalam berpikir dan bertindak. Di Jakarta, misalnya, kita dapat melihat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah daerah dalam menegakkan penggunaan jalur hijau. Beberapa pompa bensin yang dulu sering saya kecam di beberapa jalur hijau kini telah dibongkar. Begitu juga beberapa bangunan liar, walau masih sering digunakan secara kucing-kucingan oleh pengguna lahan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah bersikukuh untuk menyelesaikan proyek Kanal Banjir Timur tahun ini juga. Meskipun keampuhan proyek itu, khususnya dalam menanggulangi banjir di Ibu Kota, belum dapat dibuktikan, setidaknya proyek itu memberi harapan.

Hutan
Tapi Indonesia bukanlah hanya Jakarta. Di beberapa daerah, pembalakan liar masih berlangsung terus. Beberapa media massa telah berulang kali melaporkannya. Saya tidak tahu adakah institusi dan pejabat yang berwenang bereaksi terhadap laporan tersebut. Bahkan di beberapa tempat pembabatan hutan berlangsung di depan mata, baik dengan dalih untuk perkebunan kelapa sawit atau hanya untuk membuka areal perkebunan. Lihatlah, misalnya, Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, atau di daerah Provinsi Riau di Sumatra. Bahkan di beberapa taman nasional, yang terakhir tidak jauh dari ibu kota negara, yakni di daerah Bogor, sebagaimana yang diberitakan tanpa henti oleh Media Indonesia. Belum lagi pertambangan, khususnya batu bara, baik yang memiliki izin resmi maupun yang liar. Atau daerah tambang di taman nasional atau hutan lindung.

Karena telanjur sudah banyak areal yang rusak parah, perlu langkah tegas dan spektakuler dari pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Kalau perlu, dilakukan moratorium untuk menghentikan sementara semua aktivitas yang berhubungan dengan penebangan kayu. Sejalan dengan itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas untung ruginya melanjutkan pengeluaran izin usaha di bidang perkayuan, termasuk pengaturan yang lengkap dan menyeluruh bagi upaya rehabilitasi hutan yang selama ini telanjur sudah hancur-hancuran. Banjir hanyalah salah satu dari dampaknya.

Sejalan dengan itu diperlukan pengaturan ulang atas tata ruang, baik di ibu kota negara maupun seluruh daerah di Indonesia. Untuk Jakarta, mungkin sudah saatnya meneruskan pemindahan pusat pemerintahan, dan kalau perlu pemindahan ibu kota negara. Demikian juga halnya berbagai daerah. Banyak daerah, khususnya Pulau Jawa, yang sudah terlalu berat menopang jumlah penduduk yang terlalu padat. Salah satu dampak kepadatan penduduk adalah penebangan kayu dan perambahan hutan, khususnya yang berada di daerah hulu. Hancurnya lingkungan di daerah hulu menyebabkan datangnya banjir kiriman. Sementara itu, untuk pembangunan permukiman baru, perlu diatur penyiapan lahan yang sesuai dengan peruntukannya.

Artinya, semua komponen pemerintahan perlu digerakkan untuk melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Khususnya yang terkait dengan penataan penduduk beserta lingkungan hidupnya. Bukan saatnya lagi masyarakat dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri, tanpa pengaturan dari pemerintah. Justru pemerintahan dibuat untuk kepentingan tersebut.
Sumber: Media Indonesia

Lingkungan Sosial

       Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam keluarga dengan lingkungannya perlu diperkecil agar tidak timbul keadaan timpang atau serba tidak menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya perilaku tanpa kendali, yakni penyimpangan dari berbagai aturan yang ada. Kegoncangan memang mudah timbul karena kita berhadapan dengan berbagai perubahan yang ada dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, pola kehidupan dalam keluarga dan masyarakat dewasa ini, jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan beberapa puluh tahun yang lalu. Terjadi berbagai pergeseran nilai dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bertambahnya penduduk yang demikian pesat, khususnya di kota-kota besar, mengakibatkan ruang hidup dan ruang lingkup kehidupan menjadi bertambah sempit. Urbanisasi yang terus-menerus terjadi sulit dikendalikan, apalagi ditahan, menyebabkan laju kepadatan penduduk di kota besar sulit dicegah. Dinamika hubungan menjadi lebih besar, sekaligus menjadi lebih longgar, kurang intensif, dan kurang akrab. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang menjadi ciri dari kehidupan masyarakat yang padat: individualistis, kompetitif, dan materialistis, amat mudah timbul. Sesuatu yang sebenarnya wajar, sesuai dengan hakikat kehidupan, hakikat perjuangan hidup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memenuhi kebutuhan paling pokok dari sistem kebutuhan, yakni makanan.
Pengaruh pribadi terhadap pribadi lain di rumah, di kantor, dan di mana saja yang memungkinkan hubungan yang cukup sering terjadi, akan memengaruhi kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan sosialnya. Banyak kota yang sedang berkembang menjadi tempat pertemuan, percampuran antara berbagai corak kebudayaan, adat istiadat, termasuk bahasa dan sistem nilai sikap. Tidak mustahil dalam keadaan seperti itu, muncul ketidakserasian dan ketegangan yang berdampak pada sikap, perlakuan negatif orang tua terhadap anak, dan lebih lanjut dalam lingkungan pergaulan. Lingkungan pergaulan anak adalah sesuatu yang harus dimasuki karena di lingkungan tersebut seorang anak bisa terpengaruh ciri kepribadiannya, tentunya diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik. Di samping itu, lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat. Karena itu, lingkungan sosial sewajarnya menjadi perhatian kita semua, agar bisa menjadi lingkungan yang baik, yang bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau patologis pada anak maupun remaja.
Upaya perbaikan lingkungan sosial membutuhkan kerja sama yang terpadu dari berbagai pihak, termasuk peran serta dari masyarakat sendiri.
Rangkuman: Berbagai perilaku pada remaja sudah sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian kita semua. Mengenai ini, beberapa hal dapat dikemukakan.

1.      Timbulnya sesuatu masalah pada anak dan remaja sehingga memperlihatkan perilaku yang menyimpang, tidak selalu berupa rangkaian sebab akibat yang bersifat pionokausal -- satu sebab menyebabkan satu akibat -- melainkan lebih luas dan lebih kompleks, bukan saja multikausal tetapi berantai (dari satu sebab timbul akibat dan selanjutnya akibat ini menjadi sebab yang baru) atau melingkar (dari satu sebab timbul akibat dan selanjutnya akibat ini berpengaruh terhadap sebab semula). Karena itu, pada kasus-kasus tertentu diperlukan penanganan terhadap berbagai segi yang bermasalah secara serempak atau satu per satu dan acap kali diperlukan pula kerja sama dengan anggota-anggota keluarga lain dan bahkan bisa pula bekerja sama dengan tokoh atau ahli lain yang bekerja dalam tim dengan pendekatan terpadu.
2.      Keluarga sebagai sumber stimulasi ke arah terbentuknya ciri kepribadian yang negatif, yang bisa berlanjut menyimpang dan nakal, perlu lebih aktif mengatur sumber stimulasi agar berfungsi positif. Karena itu, keluarga acap kali perlu memperoleh pengarahan dan bimbingan sesuai dengan fungsinya, namun usaha-usaha tersebut hendaknya tidak terlalu memerhatikan hal-hal yang bersifat kognitif, sebaliknya perlu memerhatikan hal-hal yang afektif. Dalam melaksanakan usaha-usaha aktif ini, beberapa hal perlu diperhatikan, yakni:
a.       Pendekatan terpusat pada anak (child centered approach), yakni dasar adanya kekhususan pada anak, jadi berbeda antara seorang anak dengan anak lain. Berangkat dari keadaan khusus yang dimiliki oleh anak itulah (termasuk misalnya potensi yang khas), arah penanganan dilakukan.
b.      Dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal diperlihatkan anak sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan caranya yang khas yang di pihak lain tentu banyak pula yang tidak sesuai atau tidak disetujui orang tua. Upaya mengubah perbuatan yang salah hendaknya mempergunakan dasar dalam proses pendidikan, antara lain sikap tegas, konsisten, bertahap, dan berulang-ulang.
c.       Perlunya memerhatikan masa dan tahapan perkembangan karena sebenarnya setiap saat seorang anak berada dalam keadaan berubah dan kemungkinan untuk diubah. Hukum kesiapan (law of readiness) dalam proses belajar harus diterapkan agar apa yang ingin ditanamkan dapat diterima dan disimpan dengan baik dan menjadi bagian dari kepribadiannya.
d.      Perubahan perilaku adalah proses yang terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit dan berulang-ulang, sesuai dengan hukum pengulangan (law of exercise) dalam proses belajar. Usaha mengubah perilaku anak membutuhkan kesabaran untuk mengulang-ulang (repetition - reinforcement) dan memperkuat apa yang baru diberikan agar menjadi bagian dari kepribadian dan kehidupannya (internalisasi).
e.       Perlu memerhatikan teknik yang mendasarkan pada kasih sayang (love oriented technique). Bahwa banyak perubahan perilaku terjadi justru dengan teknik yang mendasarkan pada kelembutan dan kasih sayang. Teknik yang menyentuh emosi anak sehingga mau membukakan diri dan menuruti apa yang dikehendaki orang tua. Teknik ini bukan sikap memanjakan atau memperbolehkan semua tindakan atau perbuatan anak, tetapi cara pendekatan yang bisa meningkatkan perasaan diterima, dimengerti, sehingga emosinya lebih tenang, terkendali, harmonis, dan mudah menerima saran-saran, dorongan-dorongan untuk bertingkah laku atau sebaliknya menahan untuk tidak melakukan suatu tindakan.
3.      Di samping usaha-usaha aktif, usaha-usaha menciptakan suasana yang baik dalam keluarga adalah usaha lain untuk memengaruhi kepribadian anak. Banyak hal yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang, bahagia atau tertekan, sangat dipengaruhi oleh suasana rumah yang tentunya diarahkan dan ditentukan oleh orang tua. Cara orang tua menangani masalah, melakukan kebiasaan-kebiasaan, semua menjadi objek, menjadi model, patokan yang sengaja atau tidak disengaja ditiru oleh anak. Apalagi pada anak-anak yang sedang berada pada masa peka untuk menerima rangsangan-rangsangan dari luar. Proses peniruan tidak hanya terjadi terhadap hal-hal yang menarik untuk ditiru (positif), namun juga, secara tidak disadari, terhadap hal-hal yang negatif, misalnya terhadap perilaku agresif yang cocok dengan keadaannya. Suasana emosi yang baik dalam keluarga bisa menjadi penangkal yang ampuh munculnya perilaku yang tidak baik pada anak. Orang tua menjadi pribadi-pribadi yang banyak menentukan suasana emosi dalam keluarga.
4.      Dalam usaha memperbaiki lingkungan keluarga dengan pribadi-pribadinya dan lingkungan sosial, perlu memerhatikan lingkungan hidup secara lebih luas dan menyeluruh dengan semua faktor yang memengaruhinya. Berbagai perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan hendaknya tidak terlalu banyak menimbulkan kegoncangan, kepincangan, dan kesenjangan yang mudah sekali memengaruhi kondisi psikis pribadi maupun kelompok. Lingkungan hidup yang menekan akan menyebabkan ketidakselarasan, baik dalam diri pribadi (intrapsikis) maupun dengan lingkungannya sehingga menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya penyimpangan-penyimpangan perilaku. Pendekatan terpadu antara berbagai pihak yang menangani masalah ini sangat diperlukan.
Sumber : http://c3i.sabda.org